Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Wednesday, June 3, 2020

Makna Dan Manfaat Hasil Pemeriksaan Covid-19

Makna Dan Manfaat Hasil Pemeriksaan Covid-19 Oleh : dr. Alaludin Lapananda, SpPD

Saat ini, sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa bertambahnya jumlah pasien positif terpapar virus corona (COVID-19) hanya dari presentasi pemeriksaan tes cepat (rapid test) semata atau lebih expert lagi seolah-olah cuma hasil dari pemeriksaan PCR belaka.

Meskipun sejatinya hasil tersebut didapatkan dari sekuensial pemeriksaan lain yang didahului dengan tanya-jawab (anamnesa), pemeriksaan fisik seperti mengukur suhu badan sampai dengan mendengarkan suara tambahan di organ paru-paru melalui alat stetoskop serta temuan kelainan klinis lainnya. Kemudian baru dilanjutkan oleh pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan laboratorium seperti rapid test/PCR dan pemeriksaan radiologi. Hingga memunculkan status seseorang sebagai OTG (Orang Tanpa Gejala), ODP (Orang Dalam Pemantauan), PDP (Pasien Dalam Pengawasan) maupun Terkonfirmasi Covid-19 berdasarkan definisi operasional dari KEMENKES dan Pedoman Gugus Tugas.

Pemeriksaan rapid test pada prakteknya terutama digunakan untuk mendeteksi secara dini terjadinya suatu infeksi. Diantaranya untuk memeriksa virus dengan pendekatan yang menggunakan penilaian kadar Imunoglobulin M (IgM) dan Imunoglobulin G (IgG) di dalam darah yakni sejenis antibodi yang dibentuk oleh tubuh saat mengalami infeksi virus. IgM menandakan infeksi pertama kali dan IgG menunjukkan paparan sebelumnya. Khusus kasus COVID-19 ada beberapa metode pemeriksaan laboratorium yang telah dilakukan, yaitu ; 

Pertama, Rapid Diagnostic Test (RDT) Antibodi yang berbasis pemeriksaan antibodi atau 
lebih mengandalkan penilaian dari reaksi imunitas terhadap masuknya virus ke dalam tubuh. Cara ini sangat cepat (kurang lebih 15 menit) dan mudah dilakukan, dimana sampelnya cukup dengan darah perifer yang diambil dari ujung jari ataupun menggunakan darah vena seperti tes pengukuran kadar gula darah. Pemeriksaan ini efektif bila dilakukan sesudah timbul gejala sejak hari ke 6 atau ke 7 
terinfeksi yang ditunjukkan oleh kadar Imunoglobulin M. Sehingga menjadi bias bila dilakukan di awal infeksi oleh karena antibodi belum terbentuk. Biasanya hasil rapid test disebut “reaktif” dan “non-reaktif”. Artinya sama dengan positif dan negatif. Kekurangan dari tes ini tidak bisa digunakan untuk menentukan atau mendiagnosis seseorang terinfeksi Covid-19. Dikarenakan dalam bahasa analisisnya terdapat hasil positif palsu dan negatif palsu.

Jika sesudah timbul gejala kemudian dilakukan pemeriksaan RDT Antibodi IgM dengan hasil positif maka menunjukkan pengertian bahwa terdapat kemungkinan telah terinfeksi Covid-19.

Sekalipun untuk memastikan benar-benar terinfeksi Covid-19 harus dengan pemeriksaan lanjutan berupa PCR (Polymerase Chain Reaction). Penanganan terhadap pasien dengan status seperti ini sebaiknya dikelola sesuai dengan pedoman dan protokol yang telah ditetapkan. Apakah rawatannya harus di Rumah Sakit, dikarantina dengan fasilitas khusus atau cukup isolasi dirumah saja. Ketika pilihannya adalah isolasi mandiri dirumah tentu saja protokol kesehatan tetap diterapkan mengingat situasi pandemi saat ini sangat sulit memperkirakan banyaknya virus disekitar yang mengharuskan protap menjaga jarak, rajin mencuci tangan dan mengenakan masker tetap dijalankan agar terhindar dari infeksi. Andaikan hasilnya negatif, tentu harus hati-hati pula sebab belum dapat menyingkirkan kemungkinan terinfeksi. Sehingga diperlukan pengawasan lanjutan, termasuk mengikuti prosedur karantina dengan mengisi lembar pemantauan.

Bahkan jika terjadi perburukan gejala selama pemantauan maupun pengawasan dapat ditindaklanjuti dengan sesegera mungkin melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan terdekat. 

Seharusnya untuk kondisi yang demikian diulangi pemeriksaan RDT Antibodi IgM disaat selesai pemantauan 7-10 hari kemudian. Makna yang dapat diambil dari hasil pemeriksaan kelompok ini adalah bahwa memang benar-benar tidak terinfeksi bila RDT Antibodi IgM yang kedua tetap negatif.

Penulis : dr. Alaludin Lapananda, SpPD

Catatan Demokrasi : Pemilihan Kepala Daerah Dalam Pusaran Covid-19

Catatan Demokrasi : Pemilihan Kepala Daerah dalam Pusaran Covid-19 Oleh Ramli Mahmud

Semenjak diperhadapkan pandemi Covid-19 Februari lalu, peta politik Indonesia dalam menyongsong hajatan demokrasi melalui pemilihan kepala daerah mengalami kemandekan. Padahal memasuki akhir tahun 2019, para kontestan dan partai politik berlomba-lomba melakukan lobi politik dengan beragam skenario. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari berbagai elemen.

Jika dirunut, masih terdapat empat tahapan pilkada yang ditunda oleh KPUD, di antaranya, pelantikan panitia pemungutan suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih, serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.  Semua tahapan ini sangat berpotensi menimbulkan terjadinya interaksi dan persentuhan secara massal.

Dalam hemat saya, penyelenggaraan pilkada tanggal 9 Desember 2020 sesuai dengan amanah Perpu No, 2 tahun 2020 merupakan bagian keterdesakkan yang layak untuk dikritisi. Berbagai upaya dilakukan negara termasuk kebijakan new normal. Selain ada upaya untuk menstabilkan ekonomi negara juga berhubungan dengan pelaksanaan Pilkada.  Kita mungkin berkaca atas penyelenggaraan pemilu di Korea Selatan yang dilaksanakan di tengah pandemi. Meski demikian ada hal krusial yang layak menjadi pertimbangan bagi Indonesia agar tidak terjadi dampak mudaratnya bagi eksistensi bernegara. 

Kita bisa melihat tidak sedikit perdebatan terjadi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam menghadapi Covid-19. Kesiapan dan kebijakan produktif yang dibuat oleh pemangku kekuasaan menjadi kekuatan utama dan diharapkan dapat menciptakan kondisi yang kondusif dalam melawan Covid-19. Bahasa praktisnya, bagaimana mungkin masyarakat mengikuti himbauan pengambil kebijakan, sementara kita belum “satu suara”. Banyak yang saling mencari pembenaran atas sikap dan pola pikir yang mereka yakini (?) aneh bin ajaib.

Atas fenomena tersebut, Indonesia tidak mungkin bisa menyerupai Korea Selatan yang berhasil melaksanakan pemilu pada saat pandemi. Kedisiplinan hidup masyarakat Korea Selatan mampu menekan penyebaran Covid-19 hingga pada pelaksanaan pemilu di bulan April yang lalu. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan Indonesia? Ketidakpatuhan atas himbauan dan seruan pemerintah tentang PSBB yang diakibatkan dari kesimpangsiuran kebijakan dan rendahnya kedispilinan masyarakat menjadi pemicu dan masalah utama pemerintah dalam pencegahan covid-19. 

Simon Philpot (2003),  mendeskripsikan salah satu hal yang menyebabkan Indonesia pasca krisis 1998 mengalami kendala besar dalam ekonomi dan sulit bersaing dengan bangsa-bangsa di Asia Tenggara termasuk Korea Selatan adalah faktor budaya dan kedisiplinan hidup bangsa. Yoshira Konia menjelaskan melalui tesisnya Reinventing Culture, bahwa Indonesia tidak mengalami kemajuan pesat pasca reformasi karena bangsa ini lupa akan karakter dirinya sebagai suatu bangsa.  

Bertolak pada pengalaman negara dalam menghadapi covid-19 serta kedua tokoh pemikir Asia Tenggara tersebut dapat dipastikan dalam kondisi sekarang Indonesia belum siap melaksanakan Pilkada 2020. Ulasan mengenai permasalahan ini, ada beberapa pertimbangan yang layak dipikirkan antara lain :

Pertama, amanah konstitusi. Salah satu unsur terpenting dalam pemilu adalah sirkulasi elit. Namun perlu digaris bawahi bahwa sasaran pemilu bukan hanya berpatok pada agenda sirkulasi elit namun secara substansial pemilu merupakan amanah konstitusi yang harus dijalankan oleh negara dan masyarakat dalam menentukan hak politik. Sebagai proses daulat masyarakat dalam mengimplementasikan hak-haknya tidak digerogoti oleh kondisi pandemi seperti sekarang ini. Ketidaknyamanan, kekhawatiran, ketakutan masyarakat atas ancaman covid-19 akan berdampak logis terhadap pelaksanaan pilkada.  Artinya, pelaksanan pilkada bukan hanya menggugurkan kewajiban terhadap agenda prosedural demokrasi namun lebih pada aspek substansi demokrasi yang sebenarnya. 

Kedua, konsekuensi anggaran. Saat ini, anggaran negara difokuskan pada penanganan covid-19 termasuk pemangkasan anggaran daerah dari  270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi dan 224 kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada. Di lain pihak keberadaan Perpu No. 2 Tahun 2020 tidak mengatur masalah anggaran. Konsekuensi logisnya, negara akan menguras keuangannya untuk pembiayaan demokrasi di tingkat local, sementara kebutuhan ekonomi masyarakat saat pandemi maupun pasca pandemi perlu diperhatikan. Negara layaknya diberikan ruang untuk menstabilkan kondisi yang terjadi saat ini tanpa diganggu hal-hal lain termasuk pilkada yang sedianya bisa ditunda sambil menunggu kondisi benar-benar kondusif

Ketiga, pelanggaran HAM dalam pemilu. Sebagai arena transformasi demokrasi lokal, pelaksanaan pilkada layaknya mempertimbangkan unsur keselamatan dan hak hidup bagi warga negaranya. Berikhtiar dalam menghadapi covid bagi negara sangat penting.  Jika pelaksanaan pilkada akan membuat semakin banyak masyarakat yang terpapar covid maka bisa dipastikan negara telah melakukan pelanggaran HAM berat karena memaksakan agenda pilkada di tengah-tengah covid-19. Unsur keselamatan pemilih, penyelenggara dan para kontestan harus menjadi agenda prioritas dalam pelaksanaan Pilkada. 

Keempat,  kepercayaan publik terhadap kandidat menurun. Preferensi pemilih menjadi  patokan dan dipengaruhi oleh kepercayaan publik terhadap pasangan calon. Logika sederhananya, publik akan melihat dan menilai sepak terjang calon pada masa pandemi. Calon kandidat yang lebih peka dengan kebutuhan masyarakat akan memperoleh nilai tambah bagi pemilih.  Secara eksplisit dengan kondisi sekarang, apapun yang dilakukan oleh pasangan calon maupun petahana pasti akan menimbulkan keragu-raguan, kesangsian  serta kehati-hatian masyarakat khususnya pemilih dalam meyakini apa yang dilakukan dan ditorehkan oleh pasangan calon termasuk petahana. 

Kelima, sikap skeptis pemilih. Demokrasi dengan tingkat pasrtisipasi yang baik akan menghindari tipologi skeptis masyarakat pada setiap pemilu (Firmanzah, 2008). Ruang psikologi pemilih akan terganggu dan terkonsentrasi penuh pada masalah Covid serta memanggu pertimbangan untuk menentukan pilihan politik. Jika hal ini tidak diindahkan oleh negara maka ciri partisipasi politik akan dimenangkan oleh golput. Artinya golput ditengarai menjadi ancaman bagi pelaksanaan pilkada yang disebabkan dari sikap acuhnya pemilih terhadap pilkada. Dengan demikian pernyataan yang  muncul kepermukaan adalah  “Mengugurkan kewajiban sebagai warga negara  dalam Pilkada ? atau memilih untuk keselamatan diri tanpa memikirkan Pilkada?” 

Keenam, kapitalisasi isu covid termasuk petahana. Jika Pilkada dipaksakan 9 Desember 2020, kecenderungan besar terjadi akan ada kapitalisasi isu covid-19 pada setiap segmentasi isu. Tentunya pada narasi ini, banyak pihak yang dirugikan termasuk petahana. Di sisi lain petahana akan memanfaatkan dan diuntungkan kondisi sekarang melalui regulasi atas sumber daya yang telah disediakan oleh negara. Di lain pihak, calon yang bukan petahana akan mengalami kesulitan jika selama pandemi mereka tidak berbuat untuk basis masanya karena tidak memiliki akses kekuasaan formal. Jika ini terjadi, kontestasi politik akan menjadi tidak fair pada saat pilkada dan unsur keadilan tidak terpenuhi. 

Ketujuh, politik transaksional merajalela. Hingga pada kondisi saat ini, masyarakat kita masih berjibaku dengan perdebatan masalah bantuan sosial. Fenomena lainnya yang diakibatkan oleh Covid-19 adalah keterpurukan ekonomi, PHK dan krisis lapangan pekerjaan.  Menyikapi hal tersebut tentunya petahana sangat diuntungkan karena memiliki ruang formal. Akan ada kemungkinan alibi bantuan di tengah bencana covid. Selain itu dengan kondisi keterpurukan ekonomi akan membuka ruang politik transaksional pada saat pilkada. Seberapa besar daya dan upaya yang dilakukan oleh penyelenggara untuk menekan money politik, mereka akan diperhadapkan oleh situasi psikologi pemilih  yang lebih mengutamakan persoalan perut dari pada kaidah daulat karena dirongrong oleh kebutuhan ekonomi. 

Situasi demikian akan berdampak pada kesiapan dan kemampuan kandidat atau pasangan calon untuk merespon tuntuan pemilih. Akibatnya, antara pemilih dengan kandidat calon akan diperhadapkan pada satu pilihan, ada uang/barang dalam memenuhi kebutuhan (transaksi) akan dipilih dan tidak ada uang akan ditinggalkan. Mungkin kita bersepakat, untuk apa hidup berdemokrasi jika perut lapar, lebih baik tanpa demokrasi dengan perut kenyang.  

Kedelapan, resiko tinggi penularan. Merupakan perkara yang tidak mudah ketika pelaksanaan pilkada di tengah Covid-19. Di antaranya penyesuaian DPT, verifikasi faktual, rekrutmen petugas lapangan serta agenda sosialisasi. Hal ini tidak mungkin dilakukan secara online, karena masih banyak daerah yang tidak dijangkau dengan signal. Selain itu, secara substansial tahapan pilkada meliputi pemutakhiran data pemilih, pencalonan/verfikasi berkas pasangan calon perseorangan, kampanye, pemungutan suara dan perhitungan suara, serta rekapitulasi hasil perhitungan suara yang sangat membutuhkan kontak langsung melalui kerumunan massa tidak bisa dihindari. Tahapan-tahapan tersebut sangat rentan dengan paparan Covid-19. Untuk menyikapi hal tersebut, dengan berasumsi penerapan protokoler kesehatan yang ketat tidak menjamin pilkada bebas dari paparan covid-19. 

Bertolak pada pertimbangan di atas, tentunya kita tidak bisa pesimis dengan masalah covid-19 yang menyilimuti kehidupan bernegara. Oleh sebab itu, perlu alternatif atau skenario sebagai solusi untuk sedapat mungkin meminimalisir permasalahan yang dihadapi negara termasuk penyelenggaraan pilkada. Ada dua skenario sebagai tawaran transformasi demokrasi lokal di tengah Covid-19 antara lain :

Skenario pertama, Pilkada dilaksanakan pada bulan Desembar 2021. Penundaan pilkada bukan berarti tidak menghargai hak konstitusional warga negara. Ada beberapa pertimbangan dalam lingkup ini di antaranya, kondisi sosial masyarakat dalam ruang psikologi massa tidak mendukung terjadinya sirkulasi elit karena diperhadapkan pada permasalahan yang dihadapi di atas. Resiko kecurangan menjadi kecurigaan bagai semua elemen kontestan karena dihantui oleh kondisi psikologis dan ancaman pandemi apalagi bagi kontestan yang kalah dalam pertarungan. Resikonya,  gugatan pilkada akan semakin banyak bila dibandingkan dengan pilkada pada tahun-tahun sebelumnya. 

Dengan demikian, kondisi ini akan menciptakan instabilitas politik yang tidak kondusif dan mengancam tatanan kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu, perlu adanya regulasi baru selain Perpu No. 2 Tahun 2020 yang mengatur tentang penundaan Pilkada. Momentum terpenting sekarang bagi negara dan pemerintah adalah fokus dan konsentrasi terhadap penanganan Covid-19 tanpa dihantui dengan berbagai agenda bernegara termasuk pilkada. Selain itu, penyelenggara diperhadapkan dengan beberapa tahapan pilkada yang membutuh kontak langsung dengan kerumunan. 

Skenario kedua, Pilkada tetap dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020 sesuai dengan amanah Perpu No. 2 Tahun 2020.  Jalan yang bisa ditempuh adalah memperketat protokoler kesehatan pada setiap tahapan hingga pelaksanaan pilkada dan menjamin kesehatan dan keselamatan pemilih serta penyelenggara. Selain itu jumlah DPT per-TPS harus diminimalisasi, misalnya dari jumlah 800 pemilih dipecahkan menjadi 200 pemilih dengan konsekuensi pemilih yang datang di TPS pada saat pemungutan suara diatur sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan agar menghindari kerumunan di sekitar TPS. 

Menghindari kampanye terbuka, kampanye bisa dilakukan dengan cara monologis sesuai dengan protab PSBB maupun New Normal. Adanya perlakuan khusus selain penyandang cacat berlaku juga untuk pemilih di atas 50-60 tahun yang sangat rentan dengan penyebaran Covid-19 difasilitasi oleh petugas maupun penyelenggara melakukan pencoblosan di tempat masing-masing. Penambahan personil kesehatan dan keamanan untuk membantu penyelenggara dalam pelaksanaan pilkada.Efeknya hal ini akan berdampak pada konsekuensi anggaran yang tersedia. 

Tulisan ini adalah bagain dari ikhtiar bersama sebagai warga bangsa. Kepastiannya kita belum bisa berhenti untuk berupaya melawan Covid-19. Gagasan tersebut dibangun berdasarkan pada kondisi negara yang sementara mencari formula untuk keluar dari zona covid-19. Semoga pelaksanaan Pilkada pada tanggal 9 Desember 2020, Indonesia bisa berhasil mengkondusifkan penyebaran Covid-19.

Penulis : Pengajar Ilmu Politik di Universitas Negeri Gorontalo

Friday, May 29, 2020

Era Covid-19 : Antara Tafakur Dan Tawakal

Foto : Doc Samsuri Kaluku

ANTARA TAFAKUR DAN  TAWAKAL 
(Era Covid 19)
OLEH : SAMSURI KALUKU


Pengantar Menuju COVID-19: Kesehatan dan Penyakit dalam Islam

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena berkenaan dengan kesehatan manusia dapat beraktifitas, beribadah, dan melakukan berbagai hal lainnya. Tanpa kondisi yang sehat, manusia mengembalikan daya guna melakukan aktivitas serta menjalani kehidupan sebagaimana mestinya. Menjaga kesehatan yang berlandaskan agama merupakan solusi terbaik untuk mengatasi masalah kesehatan fisik dengan komitmen, mengamalkan nilai-nilai agama dalam kegiatan sehari-hari. [1] Adanya hubungan antara agama sebagai pijakan kepercayaan dan kesehatan rohani dan jasmani tentang bagaimana sikap berserah diri seseorang terhadap suatu kehendak, kekuasaan Allah SWT. Sikap dihasilkan yang membuat manusia dapat menciptakan aura positif, ketentraman lahir batin, serta hal yang baik lainnya.

Berkaitan dengan kesehatan, hadir kasus yang kini sedang menggemparkan dunia yaitu wabah penyakit menular yang sampai saat ini terkait dengan kematian korban jiwa yang diperoleh dunia, yaitu COVID-19. Umat ​​Islam wajiblah melihat kasus ini sesuai dengan pandangan Islam hidup, yang dipersembahkan oleh Islam tentang wabah penyakit yang sekarang sedang menjangkiti dunia yang juga pernah dialami pada masa Nabi Muhammad SAW. Pendek kata, Covid-19 dan Islam terkait.

Bertafakkur Lalu Bertawakal

Istilah Arab, ‘tafakkur artinya berpikir. Menurut Al-Fairuzabadi, salah seorang linguis Muslim awal terkemuka, al-fikr (pikiran) adalah refleksi atas sesuatu: afkar adalah bentuk jamaknya. Menurut pandangannya, fikr dan tafakkur adalah sinonim dan keduanya memiliki makna sama.

Sedangkan ‘Tawakal berarti menyerahkan diri kepada Allah SWT, tidak bergantung kepada makhluk atau benda lain. Dengan kata lain, manusia hanya dapat berusaha, sedangkan yang menentukan berhasil atau tidaknya sesuatu adalah Allah. Karena itu, manusia harus berserah diri dan memohon pertolongan kepada-Nya.

Menurut cerita seorang sahabat Nabi SAW, Anas bin Malik, pada suatu hari ada seorang laki-laki berhenti di depan masjid untuk mendatangi Rasulullah. Unta tunggangannya dilepas begitu saja tanpa ditambat. Rasulullah bertanya, ''Mengapa unta itu tidak diikat?'' Lelaki itu menjawab, ''Saya lepaskan unta itu karena saya percaya pada perlindungan Allah SWT.''

Maka Rasulullah menegur secara bijaksana, ''Ikatlah unta itu, sesudah itu barulah kamu bertawakal.'' Lelaki itu pun lalu menambatkan unta itu di sebuah pohon kurma. Suatu penjelasan yang gamblang mengenai tawakal telah diberikan Rasulullah lewat peristiwa itu.

Bahwa sesudah manusia berusaha, lalu menyerahkan hasilnya pada ketentuan Allah, itulah tawakal menurut ajaran Islam.

Kalau, misalnya -- seperti dalam kasus di atas -- unta itu sudah diikat, dan ternyata tetap hilang juga, itulah yang dinamakan takdir. Terhadap keputusan takdir, tidak satu pun dapat kita lakukan, kecuali menerimanya dengan tulus ikhlas, sembari berharap, semoga di balik takdir itu ada manfaat yang lebih besar buat kita.

Allah SWT berfirman: ''Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesulitan), dan akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, Maka Allah akan mencukupkan (keperluannya).'' (Q.S. 65: 2-3).

Menurut Profesor Malik Badri, seorang psikolog Muslim kontemporer, menjelaskan perbedaan antara tafkir dan tafakkur. Tafakkur lebih dalam dan lebih luas ketimbang tafkir. Tafakkur menjembatani persepsi dan konsepsi dari kehidupan dunia ini ke akhirat dan dari makhluk ke Penciptanya, Allah Swt. Perantaraan ini dikenal dengan i’tibar.

Jadi, tafkir bisa jadi terbatas pada pemecahan masalah hidup kita saat ini yang tak melibatkan emosi, namun, tafakkur melampaui hidup ini ke wilayah lebih luas, akhirat, dan melampaui kedangkalan materialisme menuju horizon lebih dalam, “ruh”, dan dengan demikian tafakkur memotivasi seluruh aktivitas eksternal dan internal kaum muslim. 

Di dalam Al-Qur’an terdapat 18 kali yang mengulang-ulang mengenai taffakur, salah satunya Allah Swt menyampaikan FirmanNYA di dalam QS. A-Nahl 11:

 Artinya:

“Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanam-tanaman, zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir".

Pandangan Al-Qur’an mengenai manusia sebagai khalifah memiliki tugas mulia dan misi besar untuk di jalankan di muka bumi, sebagaimana dikemukakan dengan jelas di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, salah satunya di dalam QS. Az-Zariyat (51) ayat 56:

Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.

Berdasarkan hal ini-lah bertafakkur tentunya menjadi salah satu ciri penting, bukan saja yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya, tetapi juga menjadi salah satu prasyarat melaksanakan peran penting sebagai khalifah, untuk mengemban pembangunan peradaban sekaligus pembawa visi misi di muka bumi.

Takutlah kepada Allah, bukan takut kepada virus corona (tawakal baru tafakur)

Banyak orang yang lebih takut corona daripada berdoa kepada tuhannya, Allah SWT" salah satu kutipan dalam pesan broadcast tersebut. Narasi-narasi di atas dan sejenisnya walaupun sepele namun banyak menimbulkan kesan bahwa ketakutan dan kewaspadaan terhadap penyakit sejajar atau bahkan bertentangan dengan konsep takut kepada Tuhan.Kesannya orang-orang yang takut dan waspada terhadap corona kurang tawakkal kepada Allah SWT. Padahal, waspada terhadap penyakit dan bencana-bencana lain justru merupakan perintah dari Allah SWT dalam Al Quran. Di antara makna taqwa adalah ibadah, tunduk, takut, dan memelihara diri. Ibnu Katsir saat menjelaskan ayat tersebut memulai penafsirannya dengan menyatakan "Dalam ayat ini, Allah menakut-nakuti hambanya yang beriman terhadap suatu fitnah" (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2 hal. 804). Adapun fitnah sendiri dimaknai oleh Ibnu Katsir sebagai cobaan dan ujian. Tentu penyakit yang melanda suatu daerah merupakan bagian dari cobaan tersebut.

Takutlah kepada Allah, bukan takut kepada virus corona," merupakan teologi neo-Jabariyah yang harus dijauhi  menurut Fathurrahman Kamal, Lc, M.Si. Jabariyah adalah suatu keyakinan yang semata-mata mengajarkan kepasrahan terhadap takdir Allah karena pada dasarnya ikhtiar tidak akan mengubah takdir seseorang. Suatu paham yang bertentangan dengan akidah ahlus sunnah wal jamaah.

Pada masa Rosul pernah terjadi wabah atau penyakit penular yaitu lepra atau kusta. Penyakit ini ditakuti dan menyeramkan karena dampaknya yang menyebabkan kecacatan atau kematian. Nabi Saw mengambil sikap untuk menjaga jarak atau jangan mendekati orang yang terkena penyakit tersebut, bahkan Nabi Saw memberikan perumpamaan agar berlarilah atau menghindarlah sebagaimana engkau berlari atau menghindar dari se-ekor singa. Karena untuk menjinakkan singat tersebut harus ada orang yang tahu bagaimana menjinakkan singa, sama halnya untuk menangani wabah atau virus tersebut harus ada orang yang memang mengerti untuk menanganinya.

Adanya wabah atau virus juga pernah terjadi pada masa Sayyidina Umar ibn Khathab. Ketika Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilayah Sargh, saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Umar sebagai pimpinan bermusyawarah hingga beradu pendapat dengan Ubaidah ibn al-Jarrah. Ubaidah mengatakan bahwa Umar lari dari takdir Allah. Umar mengatakan tidak lari dari takdir Allah, tetapi memilih takdir Allah yang lain. Hal ini dilakukan Umar karena diingatkan oleh Abdurrahman bin Auf akan perintah Rasolullah agar tidak memasuki sebuah wilayah yang terkena wabah atau virus dan jika seseorang di wilayah tersebut kena wabah maka jangan keluar. Sedangkan beberapa sahabat yang melanjutkan ke Syam akhirnya meninggal terkena wabah yaitu Abu Ubaidah ibhn Jarrah, Muadz bin Jabbal, Yazid bin Abu Sufyan, Syarhbil bin Hasanah dan Al Fadh bin Abbas.

Maka jelas anjuran Al-Qur’an kepada sesuatu yang berbahaya terhadap diri kita agar janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan atau kematian (Qs. 2/195). Bahkan kaidah fiqhiyyah mengatakan “ laa dhororo wa laa dhirooro” artinya tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain.

Kaidah fiqhiyyah yang lain juga mengatakan “Dar ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih” artinya menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan dari pada mencari kemaslahatan (kebaikkan)”.  Kaidah fiqih ini semua untuk menjaga jiwa manusia dari sesuatu yang bisa membinasakan dan berakibat buruk terhadap orang lain.

Sebagai orang yang beriman dengan memahami pengertian taffakur dan pendidikan Islam di atas dalam menghadapi Coronavirus Covid-19, yang merupakan virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan Cina pada Desember 2019. Kita semua dapat bertafakkur juga dengan kisah yang pernah terjadi saat zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, dimana pada zaman pemerintahan beliau ini pernah terjadi wabah yang bermula di daerah Awamas, sebuah kota sebelah barat Yerussalem, Palestina, sehingga dinamakan demikian.

Di dalam buku biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husein Haekal menjelaskan, wabah tersebut menjalar hingga ke Syam (Suriah), bahkan ke Irak. Diperkirakan kejadian wabah ini akhir 17 Hijriah, dan memicu kepanikan massal saat itu. Di dalam sebuah hadis yang di sampaikan Abdurrahman bin Auf mengenai sabda Nabi SAW:

“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari & Muslim).

Pada akhirnya wabah tersebut berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra memimpin Syam. Kecerdasan beliau-lah dan dengan ijin Allah Swt yang menyelamatkan Syam. Amr bin Ash berkata:

“Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Maka hendaklah berlindung dari penyakit ini ke bukit-bukit!”. Saat itu seluruh warga mengikuti anjurannya. Amr bin Ash dan para pengungsi terus bertahan di dataran-dataran tinggi hingga sebaran wabah Amawas mereda dan hilang sama sekali.

Dari kisah di atas kita semua dapat belajar dari orang-orang terbaik bersikap, dan juga yang telah di contohkan oleh Rasulullah Saw. Apa yang dapat kita ambil ibrah atau pembelajarannya adalah:

Pertama, karantina sebagaimana sabda Rasulullah SAW diatas, itulah konsep karantina yang hari ini kita kenal. Mengisolasi daerah yang terkena wabah, adalah sebuah tindakan yang tepat. Kita bisa melihat dari sebuah tabel dibawah ini, bersumber dari harian  Washington Post.

Keterangan bebasnya dapat diartikan sebagai berikut, searah jarum jam :
  1. Orang bergerak bebas, dimana orang menularkan corona secara bersamaan.
  2. Kurva kedua dilakukan lockdown, sehingga ada waktu untuk bisa melakukan penyembuhan secara bertahap.
  3. Kurva ketiga dilakukan “social distancing”, dengan berdiam diri di rumah dan mengurangi berbagai kegiatan sementara waktu.
  4. Kurva keempat dilakukan dengan sangat extreme, dengan melakukan jam malam dan sangat ketat, untuk tidak keluar rumah bahkan diberikan jam waktu.

Kedua, bersabar.

Di dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari diceritakan, suatu kali Aisyah bertanya kepada Nabi SAW tentang wabah penyakit. Rasulullah SAW bersabda, “Wabah penyakit itu adalah orang-orang yang DIA kehendaki. Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Jika terjadi suatu wabah penyakit, ada orang yang menetap di negerinya, ia bersabar, hanya berharap balasan dari Allah Swt. Ia yakin tidak ada peristiwa yang terjadi kecuali sudah ditetapkan Allah. Maka, ia mendapat balasan seperti mati syahid.”

Ketiga, berbaik sangka dan berikhtiarlah.

Rasulullah SAW bersabda:

‘..Tidaklah Allah SWT menurunkan suatu penyakit kecuali Dia juga yang menurunkan penawarnya. (HR. Bukhari).

Dalam kisah Umar bin Khattab berikhtiar menghindarinya, serta Amr bin Ash berikhtiar menghapusnya. Istilah saat ini dan sedang kita lakukan adalah melakukan “social distancing”, dilansir dari The Atlantic, tindakan yang bertujuan untuk mencegah orang sakit melakukan kontak dalam jarak dekat dengan orang lain untuk mengurangi peluang penularan virus. Artinya juga sementara waktu menjauhi perkumpulan, menghindari pertemuan massal, dan menajga jarak antar manusia.

Keempat, banyak berdoalah.

Perbanyak do’a-do’a keselamatan, salah satu contohnya yang sudah diajarkan Rasulullah Saw untuk di lafadzkan di setiap pagi dan sore berikut ini:

“Bismillahilladzi laa yadhurru maasmihi, say'un fil ardhi walafissamaai wahuwa samiul'alim”.

Artinya:

“Dengan nama Allah yang apabila disebut, segala sesuatu dibumi dan langit tidak berbahaya. Dialah maha mendengar dan maha mengetahui).

Barang siapa yang membaca dzikir tersebut 3x dipagi dan petang. Maka tidak akan ada bahaya yg memudharatkannya. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Terkait dengan wabah coronavirus covid 19 ini, sebagai seorang mu’min, maka sebaiknya selain melakukan juga ikhtiar karantina atau “social distancing” ini, maka tingkatkan juga spiritual kita. Jika dapat bertafakkur lebih jauh, sebagai muslim semua wabah ini adalah sebuah rahmatNYA, sebuah peringgatan bagi yang berpikir, untuk terus menjadikannya sebagai wasilah atau jalan untuk terus banyak mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga ketika tingkat kepasrahan tinggi maka akan dirasakan ketenangan dan dengan segala usaha dan do’a keselamatan juga kepada Allah Swt, dengan selalu melibatkanNYA, dan berharap semua wabah ini akan berakhir.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Abdul Hamid, Agama dan Kesehatan Mental dalam Perspektif Psikologi Agama , dalam Jurnal Kesehatan Tadulako, Vol. III, No. 1, Januari 2017, 1.

[2] Panduan untuk Penyakit Virus Corona 2019: Pencegahan, Kontrol, Diagnosis dan Manajemen (RRC: People's Medical Publishing House), 2020. 

[3] SIAPA. Laporan Situasi Novel Coronavirus (2019-nCoV)-1. 21 Januari 2020. Diakses pada 6/04/2020 pukul 20.00 WIB.

[4] Erlina Burhan, dkk, Pneumonia Covid-19: Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia , (Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), 2020, 1.

[5] Dr. Tinku Joseph, Dr. Mohammed Ashkan, COVID-19 , (Kochi, Kerala, India: Institut Ilmu Kedokteran Amrita), 2020.

[6] SIAPA. Pernyataan Direktur Jenderal WHO pada briefing media pada 2019-nCoV 0n 11 Februari 2020, lihat di htttps: //www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-generals-remarks-at-the-media- briefing-on-2019ncov-on-11-februari-2020.

[7] Sidney Osler, CORONAVIRUS: merebaknya semua rahasia yang terungkap tentang pandemi covid-19 , hak cipta 2019.

[8] Sejenis penyakit pernapasan yang sangat akut

[9] Erlina Burhan, dkk, Pneumonia Covid-19: Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia …… 6.

[10] Demikian dikutip dari Kepala Departemen Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSU dr Soetomo Surabaya, dr. Edi Suyanto, SpF, SH, MH

[11] Syamsuddin Arif, Teologi Wabah: Perspektif Islam tentang Pandemi , 2020,14-15.

[12] Nur Afifah Ramadhanty A / Mahasiswi Studi Agama-agama Semester VI Fakultas Ushuluddin UNIDA Gontor (https://saa.unida.gontor.ac.id/islam-dan-covid-19/)

[13] Indriya.Rusman (https://www.harianterbit.com/opini/read/119220/Tafakur-Pandemi-Coronavirus-Covid-19-dalam-Perspektif-Pendidikan-Islam).

[14) https://www.kompasiana.com/denidarmawan/5e883cffd541df0a1b09b382/takut-allah-atau-takut-corona

[15] https://portaljember.pikiran-rakyat.com/khazanah/pr-16354264/seruan-takut-kepada-allah-[bukan-virus-corona-ini-pandangan-islam

ANTARA TAFAKUR DAN  TAWAKAL 
(Era Covid 19)
OLEH : SAMSURI KALUKU

Wednesday, May 20, 2020

Antara Kegaduhan Suara Mahasiswa Dan Kebijakan Pemprov Gorontalo

Fian Hamzah
Foto : Doc Fian Hamzah

Ada yang unik dari Pemerintah Provinsi Gorontalo. Tidak hanya penerapan PSBB yang lucu, Pemprov pun tak segan menyasar anggaran beasiswa daerah dalam agenda akbar penanganan Covid-19. Sekilas ini mulia dan sulit dibantah, sebab topeng kemanusiaan menjadi penghalang dari segala rupa yang tertumbuk akal. Lazimnya penggeseran anggaran di tengah pandemi turut menjadikan Pemprov gelap mata dengan pangkas kiri kanan, alhasil Pemprov menjadi pihak penyelamat rakyat yang sekaligus menghabisi cita.

Baca Juga : #KamiKecewaDenganGubernurGorontalo.

Kontemporer, publik dibuat sulit mencerna kebjikan Pemprov Gorontalo. Sekian banyak opsi anggaran yang tersaji di “brankas”, Pemprov menjatuhkan pilihan pada anggaran cita-cita manusia muda Gorontalo (beasiswa daerah). Keputusan di atas kertas berlari tanpa alur ‘meja’ yang seharusnya. Benar, bahwa hal ini tidak diketahui oleh Badan Anggaran DRPD Provinsi Gorontalo. Tiba-tiba anggaran yang mengandung sejuta mimpi demi kelangsungan belajar di kelas lenyap dengan segala polombuango yang menyusulnya.

Beasiswa pendidikan bagi Pemprov seolah sekadar janji yang menandingi kecepatan suara. Segera menghilang dari harapan apalagi implementasi. Jika Pemprov serius untuk urusan pendidikan tentu Pemprov akan menjauhi keputusan menyakitkan itu. Melalui persoalan beasiswa ini Pemprov perlu disadarkan dari gemerlapnya pentas citra bagi-bagi sembako. Beasiswa ini akan sangat berarti bagi kelangsungan hidup mahasiswa demi menggapai cita-cita yang terlanjur berakar dalam sanubari, juga akan sangat bermanfaat bagi segenap keluarga penerima beasiswa sebab mereka turut terbantu.

Sebaliknya, jika Pemprov yang kukuh mempertahankan anggaran pemeliharaan jalan raya, renovasi gedung, tunjangan wira-wiri dan sebagainya di saat pandemi, manusia mana yang dapat menganggap Pemprov berbakti kepada rakyat khususnya mahasiswa?

BACA JUGA : Ada Apa Dengan Beasiswa Kami?

Kritik yang sering penulis sampaikan harusnya dijawab dengan baik dan bijaksana oleh pihak pemerintah, bukan membenturkan para pengkritik dengan jawaban-jawaban yang tidak relevan di hadapan rakyat. Sungguh disesalkan, jawaban yang diberikan sangat tidak layak serta tidak mencerminkan pemerintah yang tulus dan benar-benar mengabdi pada rakyat. Jawaban dengan irama yang menjijikan, dibungkus dengan makna mengungkit-ungkit, meminta terima kasih atas jasa yang sejatinya adalah hak kami sebagai warga negara.

Selanjutnya, semua tentu sadar serta mampu memahami bencana kemanusiaan non alam ini perlu simpati dan kerja sama kita dalam penanggulangannya. Di sini penulis ingin meluruskan pada khalayak bahwa penulis bukan pada posisi untuk menciptakan kegaduhan di Gorontalo, namun lebih pada sebuah pengawalan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi yang tidak pro terhadap kepentingan umat. Jangan karena wabah Covid-19 ini kita lupa dan abai terhadap segala bentuk kebijakan Pemerintah Provinsi Gorontalo, wabah ini selain membuat perekonomian Gorontalo 'rusak' juga dapat menimbulkan masalah baru yakni banyak kebijakan yang keliru bahkan salah. Tentu kebijakan yang salah ini akan berpotensi pada korupsi yang tidak diketahui oleh rakyat.

BACA JUGA : Meretas Prasangka Seorang Kawan : Sebuah Balasan untuk Noval Karim

Melalui ini, penulis perlu mencerahkan khalayak sekaligus menjangkau nalar pemerintah yang mungkin kebingungan dengan seluruh keanehannya, bahwa dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus yang termaktub pada Pasal 27 Ayat (1) menyebutkan bahwa "Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termaksud kebijakan dalam bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termaksud kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara."

BACA JUGA : Suara Pemuda - Pemimpin Yang Tidak Punya Hati Nurani

Mari kita cermati dengan mata yang terbuka dan pikiran yang tidak tidur bahwa kebijakan penggeseran beasiswa daerah apakah untuk menyelamatkan ekonomi dari krisis? Atau sekadar tumbal dari laci proyek pembangunan yang belum urgen agar tidak tersentuh.

Polemik ini adalah salah satu upaya untuk membuka tabir bahwa Gorontalo harus ditelisik. Dari kebijakan hingga potensi korupsi yang terbuka, tentu hal-hal seperti ini juga perlu adanya pengamatan dan pengawalan yang baik dari semua unsur yang ada di Gorontalo, mahasiswa wajib turut andil. Anggaran penanggulangan corona virus itu besar, jangan sampai ada penyelewengan dalam prosesnya.

BACA JUGA : Kabar Burung untuk Netizen yang Budiman dan Harapan untuk DPRD Gorontalo

Sebagai penutup, penulis ingin menegaskan pada khalayak bahwa perjuangan penulis dan rekan-rekan bukan merupakan upaya untuk menciptakan kegaduhan di Gorontalo. Ini adalah salah satu bentuk kerja sama mahasiswa terhadap pemerintah dengan berdiri kokoh pada kutub kritik yang sunyi dan rasional, melalui gerakan untuk menciptakan transparansi yang berkelanjutan terhadap penggunaan anggaran pemerintah Gorontalo. Kalian tidak sendiri wahai pemerintah, kami memantau segala lakon yang dipertontonkan. Perjuangan kami belum selesai.

Penulis : Fian Hamzah

Monday, May 18, 2020

Ada Apa Dengan Beasiswa Kami?

Foto: Bayu Harundja 

Disaat pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam penanganan percepatan pandemi Covid-19. Kita dihimbau untuk tetap dirumah guna mencegah virus masuk dan mengurangi penularan. Berbagai daerah sudah melakukan kebijakan PSBB terkhusus provinsi Gorontalo. Kebijakan ini sudah dilakukan pemerintah daerah sejak 4 mei dan sudah berjalan hingga sekarang, bahkan akan diperpanjang seiring banyak pertimbangan lainnya.

Kebijakan inilah yang membuat pemerintah putar otak untuk memikirkan bagaimana melayani masyarakat dalam keadaan PSBB. Seperti yang kita ketahui kebijakan PSBB saat ini menghambat perekonomian khususnya masyarakat menengah kebawah yang notabenenya adalah pedagang, petani, dan nelayan. Maka dari itu pemerintah menggunakan anggaran baik itu APBD atau anggaran lainnya untuk melayani masyarakat guna penanganan pandemi covid-19. Bahkan gubernur Gorontalo menyumbangkan gajinya untuk menangani pandemi covid-19, keputusan gubernur Gorontalo ini mendapatkan aura positif bagi masyarakat serta menjadi contoh yang baik untuk kepala daerah lainnya.

Tapi disaat pemerintah daerah sedang naik daun dengan kebijakan yang menguntungkan masyarakat. Justru salah satu kebijakan pemerintah yang membuat kecewa kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa penerima beasiswa daerah. Pemerintah menggunakan anggaran beasiswa daerah untuk menangani pandemi covid-19. Hal ini yang menjadi trending topic di media sosial seperti Portal Gorontalo. Mahasiswa Gorontalo dengan serentak memposting dan menuliskan tagar #KamiKecewaDenganGubernurGorontalo. Sontak postingan mahasiswa ini menjadi pembicaraan hangat dan bahkan menjadi bahan bully bagi para netizen yang menilai mahasiswa sangat egois karena tidak mendukung pemerintah untuk menangani pandemi covid-19.

Disini saya selaku penulis serta mahasiswa untuk meluruskan melalui tulisan ini, alasan kenapa kami mahasiswa mengkritik pemerintah daerah yang memangkas anggaran beasiswa untuk penanganan covid-19. Kami mengkritik bukan tanpa sebab, kami mengkritik karena adanya ketidaktaatan pemerintah daerah pada aturan. Memang, ini untuk keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Seperti yang kita ketahui Salus Populi Suprema Lex Esto (Keselamatan/kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi). Tapi kenapa harus menggunakan anggaran beasiswa? Kenapa tidak memangkas anggaran lainnya seperti anggaran perbaikan jalan Jhon Ario Katili yang bernilai Rp.24,5 Miliar serta anggaran daerah lainnya. Mahasiswa juga masyarakat mereka butuh pelayanan, dengan beasiswa itulah meringankan mahasiswa dalam keadaan pandemi covid-19 yang menghambat perekonomian. 


Jika kita melihat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab V Pasal 12 (1.c) yang menjelaskan “Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”.  Selain itu juga, alasan kami mengkritik pemerintah tak lain pemerintah tidak menaati apa yang sudah di jelaskan pada Pedoman Umum Beasiswa Dan Bantuan Biaya Pendidikan Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) Bagian C Poin (6) tentang penyaluran dana. Disitu menjelaskan bahwa “Dana beasiswa dan bantuan biaya pendidikan peningkatan prestasi akademik tidak boleh dipotong untuk keperluan apapun”. Sudah jelas bahwa dana beasiswa tidak boleh dipotong dalam keperluan apapun, itulah sebab kami mengkritik pemerintah daerah. Karena pemerintah tidak taat regulasi yang ada sehingganya kami menolak bungkam untuk bersuara. Dan teruntuk netizen yang budiman, yang menilai mahasiswa egois dengan keputusannya. Kami mengkritik untuk kepentingan kita bersama, kepentingan masyarakat juga. Sebab, mahasiswa juga adalah masyarakat membutuhkan dana beasiswa untuk bertahan di tengah pandemi covid-19 yang mewabah. Dan juga pemerintah harus taat regulasi, sudah jelas bahwa dana beasiswa tidak dapat dipotong untuk kepentingan apapun. Kami selaku mahasiswa tetap akan menolak karena kami sadar bahwa kebijakan itu menuai polemik. Atas nama kecewa kami tujukan kepada pemerintah daerah, bukan tanpa sebab. Bahkan pemerintah tidak merespon kritikan kami dan menilai bahwa kami mahasiswa “Narsis” atas gugatan yang kami tujukan kepada pemerintah daerah. Di akhir tulisan ini kita sadari bahwa manusia tidak lepas dari kesalahan, tapi kita mengacu pada sebuah adagium hukum “Errare humanum est, turpe in errore perseverare” yang berarti berbuat kekeliruan adalah hal manusiawi, namun tidaklah baik mempertahankan terus kekeliruan. Kami menolak bungkam!!

Penulis : 
Bayu Harundja (Mahasiswa Hukum, Universitas Negeri Gorontalo)

Meretas Prasangka Seorang Kawan: Sebuah Balasan untuk Noval Karim

Meretas Prasangka Seorang Kawan: Sebuah Balasan untuk Noval Karim
Foto : Doc Wahyu Margono

Di tengah udara Gorontalo yang panas “manucu”, obrolan warung kopi di pojok jalan yang harus ditangguhkan, tanpa jadwal buka puasa bersama karib bangku sekolah dan perburuan takjil bersama pacar membuat penulis atau bahkan kita semua harus perlu menyesuaikan diri dengan semua ini. Ada yang merasa terbelenggu, ada yang merasa nyaman-nyaman saja. Namun, di tengah ikhtiar menyesuaikan diri ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Noval Karim atas usahanya membuka ruang dialog melalui tulisannya yang berbicara panjang lebar tentang kegagalan regenerasi gerakan mahasiswa. Bagi penulis, tanggapan Noval Karim atas twibbon bertagar Kami Kecewa dengan Gubernur Gorontalo bagai keberadaan gelas berisi potongan buah-buahan segar ditambah manisnya sirup mar**n yang entah sudah berapa episode iklannya di berbagai stasiun televisi, susu kental manis, dan bongkahan es batu di waktu buka puasa (jika anda membaca bagian ini sebelum buka puasa, tolong jangan dibayangkan, risiko ditanggung sendiri-sendiri) yang menyegarkan dialog di tingkat mahasiswa ketika kuliah online membuat semua mahasiswa harus bergulat dengan keringnya obrolan sehari-hari, kehausan akan humor-humor renyah, dan bagi seseorang yang nir pacar, tentu saja kesunyian.


Karena itu, izinkan penulis memberi tanggapan atas pendapat Noval. Sebenarnya penulis lebih suka membahas ini langsung bersama Noval di rumah kopi dengan segelas kopi susu hangat, gulungan kertas berisi daun kering bersama cengkeh yang dibakar perlahan dari ujungnya dan percakapan yang menjelajahi ragam batas imajinasi. Tapi, karena Gubernur Gorontalo baru saja mengumumkan PSBB lanjutan, maka alangkah baiknya penulis menyampaikan tanggapannya melalui tulisan ini. Tanggapan ini berusaha untuk meninjau kembali argumentasi Noval yang berkesimpulan bahwa gerakan mahasiswa gagal paham tentang usaha pemerintah provinsi melakukan realokasi dana beasiswa untuk penanganan covid 19. Menurut Noval, gagal paham ini karena mahasiswa tidak ingin mengorbankan kepentingan dirinya di tengah situasi pandemi yang menghasilkan berbagai persoalan pelik. Akhirnya, dengan membandingkan definisi gerakan mahasiswa menurut Arbi Sanit (1999) dan sikap “narsis” (katanya) oleh mahasiswa Gorontalo yang menggunakan tagar kekecewaan.
Bagi Noval, mungkin twibbon dan tagar kekecewaan adalah  pertanyaan penting atas ketiadaan moral mahasiswa ketika banyak pihak membutuhkan realokasi anggaran provinsi termasuk dana beasiswa. Namun, penulis dengan hati-hati mengambil sikap yang berbeda dengan Noval. Alih-alih menganggapnya sebagai sikap reaksioner mahasiswa, penulis ingin melihat gerakan ini sebagai bentuk kritik dasar yang sebenarnya sah-sah saja untuk disampaikan. Kritiknya sederhana, di tengah ketidakpastian penurunan UKT, merosotnya kondisi sosio-ekonomi, mahasiswa juga harus membayar tanggungan perkuliahan agar dapat melanjutkan kuliahnya. Karenanya, diperlukan bantuan dana beasiswa. Lantas apakah dengan demikian kami tidak memerhatikan situasi penanganan covid-19 lebih luas? Nyatanya tidak, kami memperlihatkan terdapat anggaran yang tidak begitu urgen seperti perbaikan jalan Jhon Ario Katili sebesar 24 Miliar. Lagi pula, jika pemerintah provinsi mengingkan semua warganya lebih banyak berada di rumah, maka bukankah perbaikan jalan dapat ditunda? Dengan dasar yang demikian, maka anggapan Noval yang menyebutkan bahwa ini merupakan lunturnya gerakan moral tentu saja merupakan penilaian yang terburu-buru.

Yang kedua, Noval harusnya perlu melihat bahwa pembacaan terhadap kondisi sosial tidaklah bersifat “hitam-putih”. Dengan kata lain, mempersoalkan realokasi dana beasiswa bukan berarti memusuhi pemerintah dan tidak memperdulikan proses penanganan corona di Gorontalo. Pandangan Noval yang memosisikan gerakan mahasiswa ber-twibbon sebagai usaha yang tidak pro-rakyat kecil jelas keliru. Dana beasiswa justru dapat menjamin bahwa dalam situasi ekonomi yang sulit di tengah pandemi karena hasil panen yang sulit dipasarkan, tempat pelelangan ikan yang sepi pengunjung, bentor yang harus lebih banyak “dikandangkan”, pemotongan gaji, usaha dengan laba yang tak menentu, PHK, dan ketiadaan pemasukan ekonomi lainnya, anak-anak Gorontalo tetap dipastikan dapat mengenyam pendidikan yang layak. Karena itu, protes terhadap realokasi dana beasiswa berarti juga perjuangan untuk memastikan akses pendidikan dapat terjamin dalam situasi ekonomi yang berat.

 Yang terakhir, dengan menggunakan definisi Arbi Sanit (1999),  Noval harusnya tidak perlu segera terkunkung dalam pra sangka yang berlebihan terhadap gerakan mahasiswa ber-twibbon. Bukan hanya mahasiswa, kita semua setiap warga negara punya tugas mengawasi jalannya pemerintahan apapun kondisinya. Tidak perlu banyak pemaparan kajian teoritik untuk ini selain terlalu banyak dan bisa diperiksan sendiri karena sudah sepatutnya demokrasi memberikan ruang bagi tiap-tiap warga negara baik penulis, Noval Karim, abang bentor, petani, nelayan, buruh, kuli bangunan, pedagang asongan, mahasiswa, guru, dokter, perawat, mahasiswa dan semua yang mendaku diri sebagai warga Gorontalo. Gerakan twibbon hanyalah salah satu bentuk ekspresi berdemokrasi saja. Tidak perlu ada prasangka yang berlebihan jika kritik diluncurkan kepada pemerintah. Penulis juga yakin bahwa pemerintah tidak akan bersikap reaksioner terhadap kritik dari mahasiswa, bahkan alangkah lebih baik jika pemerintah dapat memberikan tanggapan atas kritik terkait realokasi dana beasiswa. Jika pemerintah berhasil menjawab dengan studi yang cermat, maka bukan tidak mungkin dialog yang konstruktif ini dapat menggugah kembali spirit mohuyula dalam setiap ikhtiar untuk berjibaku di tengah pandemi.

Penulis : Wahyu Margono

Sunday, May 17, 2020

Kabar Burung untuk Netizen yang Budiman dan Harapan untuk DPRD Gorontalo


Kabar Burung untuk Netizen yang Budiman dan Harapan untuk DPRD Gorontalo
Foto :Doc Fian Hamzah

AssalamuAlaikum Wr. Wb Netizen yang budiman.

Di Gorontalo dalam dalam 2 hari ini ribut dengan salah satu  tagar yang dibuat rekan-rekan mahasiswa. Tagar tersebut adalah #KamiKecewaDenganGubernurGorontalo, tentu tagar yang menjadi bahan pembicaraan orang banyak ini mengundang tanya dan penasaran pada netizen yang budiman.

Tagar ini bukan hanya sekadar tagar biasa sebab melibatkan pemimpin daerah Gorontalo. Tanya para netizen yang sering kami lihat, pertanyaan mendasar ialah mengapa kami pilih tagar tersebut? Mengapa bukan tagar lainya saja? Ada apa dengan tagar ini?

Maka atas dasar itu kami sampaikan kepada netizen yang budiman bahwa tagar tersebut merupakan bentuk kekecewaan kami kepada Gubernur Gorontalo, Sebab kebijakan  yang beliau ambil cenderung abai terhadap pendidikan yang ada di Gorontalo padahal kalau kita melirik visi – misi pemerintah Gorontalo tentang peningkatan sumber daya manusia, dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan sumber daya manusia tentu melalui pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas tentu di dukung oleh berbagai macam aspek  dari  infrastruktur yang baik serta bantuan pendidikan bagi mahasiswa berprestasi.

Dari sini jelas pemerintah Provinsi Gorontalo telah abai terhadap pendidikan yang ada di Gorontalo yang dibuktikan dengan adanya surat edaran Sekretaris Daerah pada masing-masing OPD yang memuat angka-angka guna pemenuhan refocusing 361 Miliar dan  untuk Dikbudpora sendiri harus memenuhi  ±42 Miliar, namun anggaran yang dituliskan tersebut tidak sesuai dengan kemampuan dikbudpora. Berkembang cerita dikbudpora hanya mampu mengadakan anggaran ±30 miliar itupun tiggal menyisahkan gaji PTT, tenaga kontrak dan pengadaan mobiler yang sudah di pangkas.

Nah, disini ada anggaran beasiswa yang sudah disetujui dalam APBD 2020 yang dalam keyakinan kami kadis pendidikan tetap pertahankan. Namun diujung cerita anggaran beasiswa tersebut harus ditarik untuk refocusing. (inilah kabar burung yang patut kami sampaikan pada netizen yang budiman)

Disini kami perlu meluruskan cara pikir netizen, Kami tidak akan persoalkan kalau anggaran yang di tarik tersebut bukan anggaran pendidikan apalagi beasiwa, Jangankan 42 Miliar itu, 100 Miliar pun kami tidak akan mempersoalkan.

Kan masih banyak anggaran yang bisa digeser pada penanganan covid19, Ada anggaran perbaikan Jl. Dari yang berkisar 18 miliar hingga 24 miliar, Ada juga pengadaan alat tulis, Ada juga perbaikan jembatan dan masih banyak lagi. Selama anggaran tersebut itu diperuntnukan untuk kepentingan rakyat tentu  kami tidak akan pernah melakukan protes, Mahasiswa itu bagian dari rakyat Gorontalo yang sepatutnya mendapat perhatian yang sama di masa pandemi ini.

Lagian beasiswa itu bisa di gunakan untuk meringankan beban masyarakat dalam hal ini mahasiswa dan orang tua dari mahasiswa tersebut di masa pandemi ini. Keliru apabila netizen memandang gerakan yang dibuat adalah gerakan untuk meraup keuntungan pribadi. Dalam konstitusi Amandemen UUD 1945 pasal 1 ayat 4 mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan biaya pemerintah sekurang-kurangnya 20% dari APBN maupun APBD. Dari sini kami pikir jelas, Netizen harus paham dan sadar bahwa yang disuarakan ini benar-benar HAK, kewajiban pemerintah untuk menunaikan hal tersebut.

Sekali lagi kami perlu tegaskan masih banyak anggaran pemerintah Provinsi Gorontalo yang bisa diambil ketimbang harus mengambil anggaran untuk pendidikan. Semoga netizen yang budiman bisa paham dan tercerahkan lewat tulisan ini.

Untuk membuktikan kabar burung diatas, kami perlu melakukan dialog terbuka antara Mahasiswa – DPRD – serta Gubernur dan dinas-dinas yang ada di Gorontalo. Itupun kalau berani, ayo kita buka-bukaan. Jangan bohongi rakyat..

Sabtu kemarin kami telah melayangkan surat dialog pada DPRD Gorontalo semoga saja dapat difasilitasi dan kami akan tunggu kabar baiknya..

#KamiKecewaDenganGubernurGorontalo
Sekian, terimakasih..
WassalamualaikumWr.Wb..

Penulis : Fian Hamzah
(Mahasiswa Hukum Universitas Negeri Gorontalo ) 

Friday, May 15, 2020

Diduga Dana Beasiswa di Geser Mahasiswa Protes Ke Gubernur

Mantan ketua HMJ Informatika dan bendahara umum FPG Ahmad Musa
Foto : Mantan ketua HMJ Informatika UNG dan bendahara umum FPG Ahmad Musa

Langkah  yang diambil oleh pemerintah daerah provinsi Gorontalo dalam rangka penangan covid 19 dengan menggeser anggaran beasiswa daerah kurang lebih senilai 8 M itu sangat tidak tepat.

seharusnya pemerintah segera merealisasikan  beasiswa yg telah di usulkan melalui  Dikbudpora untuk segera di cairkan, mengingat situasi saat ini para orang tua mahasiswa itu betul betul sangat terkena dampak dari pada pandemi ini.

 belum lagi dari data yang menjadi penerima tersebut reta rata memiliki penghasilan dibawa rata rata . Bila perlu pemerintah harus menambah anggaran tersebut sehingga pemanfaatannya bisa di rasakan oleh mahasiswa lainnya.Sangat di sayangkan pemerintah saat ini tidak hadir dalam mengambil kebijakan untuk merealisasikan beasiswa yang sudah di anggarkan tersebut.

Bagi saya untuk menyelamatkan yang lain tidak harus mengorbankan yang lain ,ada beberap pekerjaan pemerintah  yang saya  pikir belum terlalu urgen untuk dilaksanakan tahun ini ,misalnya renovasi gedung kantor kejaksaan tinggi Gorontalo dengan nilai proyek 3,7 M ,ini kan renovasi artinya gedung ini Masi bisa di gunakan sehingga bagi saya ini belum terlalu prioritas .

Sebagaimana kita ketahui mahasiswa adalah satu entitas masyarakat yang notabennya adalah mereka yang belajar di perguruan tinggi negri maupun swasta. Sebagai mana satu institusi atau kampus tanpa mahasiswa tentu perguruan tinggi tersebut tidak akan berjalan sebagamana yang kita harapkan. dari sinilah hubungan antara mahasiswa dan kampus itu terbangun. 

Adanya covid 19 ini membawa dampak yang cukup serius bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Dampak yang serius juga dirasakan pada sektor pendidikan, ada sebuah kebijakan pemerintah yang dibuat pemerintah yang dampaknya sangat dirasakan oleh mahasiswa, yaitu kegiatan belajar mengajar yang dilakukan secara daraing.hal ini merupakan langkah kongrit dari pemerintah untu memutuskan penyebaran virus corona dan jumlah kasus yang semakin bertambah. Dari aspek ekonomi tentu ini sangat memberatkan para mahasiswa dimana mahasiswa tersebut harus dibebankan biaya paket data untuk melangsungkan perkuliahan .

Berbagai formulasi kebijakan  oleh masing masing kampus telah dilakukan  sebagai  langkah kongrit sehingga mahasiswa dapat melangsungkan perkuliahan. sebagaimana kampus dimana saya kuliah (Universitas Negeri Gorontalo) telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang menurut saya itu bagian dari langkah solutif. Diantaranya memberikan mahasiswa paket data ,memberikan mahasiswa sembako,bahkan baru baru ini rektor ung  telah menyampaikan tentang keringanan pembayaran ukt mahasiswa ini serta merta untuk menjawab kegalaun mahasiswa.

Sayangnnya kebijakan kampus  ini tidak dibarengi dengan langkah pemerintah daerah provinsi gorontalo dalam hal menjawab keresahan tadi, saya berharap kepada anggota DPRD provinsi Gorontal,TAPD, untuk mengadakan  pertemuan kembali dengan gubernur Gorontalo untuk membahas kembali terkait dengan pergeseran anggaran tersebut

Kekecewaan Mahasiswa pada Gubernur

SANDI S. MOBI PRESIDEN MAHASISWA STIMIK ICSHAN Gorontalo
SANDI S. MOBI
PRESIDEN MAHASISWA STIMIK ICSHAN Gorontalo

Dalam beberapa pekan kedepan, Seluruh mahasiswa yang ada di Gorontalo baik itu yang studi di perguruan tinggi Negeri hingga swasta akan membayar sumbangan pembinaan pendidikan atau dikenal dengan SPP.

Sebelumnya Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Gorontalo telah melakukan pembahasan mengenai beasiswa daerah yang  di anggarkan untuk membantu mahasiswa Gorontalo baik yang melaksanakn studi di Gorontalo atau diluar Gorontalo.

Namun, pada tanggal 14 Mei 2020 saya mendengar kabar melalui salah satu media lokal yang ada di Gorontalo bahwa sudah ada pergeseran anggaran beasiswa tersebut, Pasalnya pergeseran anggaran tersebut di peruntukan untuk kepentingan penanganan corona virus yang ada di Gorontalo yang berkisar ± 8 Miliar.

Hal ini tentu mengundang tanya pada kami mahasiswa, Apakah benar pergeseran itu dilakukan untuk penanggulangan covid ? Kalau benar untuk penanggulangan covid19 kenapa tidak menggeser  anggaran yang lainya? Semisal anggaran pengadaan barang dan jasa, atau pekerjan-pekerjaan perbaikan jalan, Baik itu jalan Ex Andalas yang kisaran Angaranya 24.5 Miliar atau penggantian jembatan molingtogupo yang kisaran anggaran 20 Miliar, Saya pikir anggaran-anggaran seperti itu bisa digeser dulu. Selain belum mendesak juga tidak meringankan beban masyarakat, Anggaran beasiswa daerah yang sudah dicanangkan sebelumnya itu dapat membantu meringankan beban mahasiswa di tengah pandemi covid19 ini.

Saya merasa prihatin ketika kebijakan pemerintah provinsi justru tidak berpihak pada kepentingan orang banyak utamanya mahasiswa. Saya berharap pada pemerintah provinsi melalui bapak Gubernur Gorontalo Rusli Habibie untuk memikirkan secara matang kebijakan-kebijakan yang di ambil oleh pemprov.

Dalam surat Mentri Keuangan RI tertanggak 27 Maret 2020 yang ditujukan kepada Kepala daerah baik Gubernur, bupati/walikota untuk dapat mengehtnikan proses tender pengadaan barang dan jasa untuk seluruh jenis namun tidak dengan pengadaan kesehatan dan pendidikan. Saya pikir surat edaran tersebut sudah jelas dan harus dijalankan dengam baik dan bijak oleh pemerintah provinsi dan pemerintah daerah.

Dengan ini saya menyammpaikan
#KamiKecewaDenganGubernur.

Suara Pemuda - Pemimpin Yang Tidak Punya Hati Nurani

Ketua Umum FPG YAHYA ABDULLH
Foto : Ketua Umum FPG YAHYA ABDULLH  

Beberapa bulan terakhir di tahun ini, memang sangat menjengkelkan semua kalangan, betapa tidak. Mulai dari masyarakat level atas, menengah sampai level bawah merasakan dampak dari pandemi covid-19.

Ada banyak rencana yang telah tersusun rapi, untuk bisa di realisasikan tahun ini, tiba-tiba semua sirnah dengan berita beredarnya wabah yang masuk di Negeri yang kita cintai pada bulan Januari tahun 2020, tidak berselang lama penularan wabah ini masuk di daerah Provinsi Gorontalo.

Semua stekholder dengan cepat merespon, tentu pandemi ini perlu di seriusi, sehingga mata rantai penyebaran covid-19 akan cepat berakhir, sekalipun pada proses pencegahannya kita semua kecolongan dengan masuknya Covid-19 di bumi serambi madinah dengan jumlah yang positif sebanyak 21 orang.

Lewat tulisan ini, saya tidak akan banyak membahas persoalan pandemi yang masuk di Indonesia dan bumi serambi madinah, tetapi ada hal yang tidak manusiawi yang telah di buat-buat oleh pemerintah provinsi Gorontalo.

Mahasiswa tidak lagi menjadi prioritas pemerintah, padahal sudah jelas dan hampir semua masyarakat ilmiah menyadari, bahwa kemajuan suatu Bangsa terletak pada kualitas Pendidikannya.

Tentu hal ini berhubungan dengan alokasi anggaran beasiswa daerah 8 M yang di peruntukan untuk mahasiswa berprestasi dan yang kurang mampu secara ekonomi, tetapi anggaran tersebut malah di peruntukan untuk penanganan covid-19, bahasa gaulnya ada pergesaran anggaran. Katanya seperti itu!!!

Penanganan covid-19 memang perlu, tetapi beasiswa itupun sangat diperlukan untuk mahasiswa/mahasiswi yang kurang mampu, anehnya pergesaran anggaran menurut hemat saya tidak objektif seperti kepala daerah yang memberikan bantuan sembako kepada masyarakat yang terdampak covid-19, atau bahasa uniknya adalah bantuan tidak tepat sasaran.

Ada banyak anggaran yang harusnya digeser untuk penanganan covid-19, semisal proyek pembebasan lahan yang ada Isimu sebanyak 38 M, proyek jalan andalas 24,5 M, dan masih banyak lagi proyek yang sewajarnya untuk ada pergesan.

Perlu saya tekankan di keadaan seperti ini, semua kalangan merasakan kesusahan terlebih kepada orang yang benar-benar membutuhkan. Tidak lain dan tidak bukan adalah mahasiswa/mahasiswi yang di perhadapkan dengan pembayaran SPP yang notabennya mahasiswa tersebut tergolong mahasiwa yang kurang mampu.

Pemerintah harusnya lebih cerdas lagi, dalam hal ini pak Gubernur Gorontalo dalam menyikapi sebuah persoalan, keberlangsungan pendidikan sangat penting di atas segala-galanya.