Monday, May 18, 2020

Meretas Prasangka Seorang Kawan: Sebuah Balasan untuk Noval Karim

Meretas Prasangka Seorang Kawan: Sebuah Balasan untuk Noval Karim
Foto : Doc Wahyu Margono

Di tengah udara Gorontalo yang panas “manucu”, obrolan warung kopi di pojok jalan yang harus ditangguhkan, tanpa jadwal buka puasa bersama karib bangku sekolah dan perburuan takjil bersama pacar membuat penulis atau bahkan kita semua harus perlu menyesuaikan diri dengan semua ini. Ada yang merasa terbelenggu, ada yang merasa nyaman-nyaman saja. Namun, di tengah ikhtiar menyesuaikan diri ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Noval Karim atas usahanya membuka ruang dialog melalui tulisannya yang berbicara panjang lebar tentang kegagalan regenerasi gerakan mahasiswa. Bagi penulis, tanggapan Noval Karim atas twibbon bertagar Kami Kecewa dengan Gubernur Gorontalo bagai keberadaan gelas berisi potongan buah-buahan segar ditambah manisnya sirup mar**n yang entah sudah berapa episode iklannya di berbagai stasiun televisi, susu kental manis, dan bongkahan es batu di waktu buka puasa (jika anda membaca bagian ini sebelum buka puasa, tolong jangan dibayangkan, risiko ditanggung sendiri-sendiri) yang menyegarkan dialog di tingkat mahasiswa ketika kuliah online membuat semua mahasiswa harus bergulat dengan keringnya obrolan sehari-hari, kehausan akan humor-humor renyah, dan bagi seseorang yang nir pacar, tentu saja kesunyian.


Karena itu, izinkan penulis memberi tanggapan atas pendapat Noval. Sebenarnya penulis lebih suka membahas ini langsung bersama Noval di rumah kopi dengan segelas kopi susu hangat, gulungan kertas berisi daun kering bersama cengkeh yang dibakar perlahan dari ujungnya dan percakapan yang menjelajahi ragam batas imajinasi. Tapi, karena Gubernur Gorontalo baru saja mengumumkan PSBB lanjutan, maka alangkah baiknya penulis menyampaikan tanggapannya melalui tulisan ini. Tanggapan ini berusaha untuk meninjau kembali argumentasi Noval yang berkesimpulan bahwa gerakan mahasiswa gagal paham tentang usaha pemerintah provinsi melakukan realokasi dana beasiswa untuk penanganan covid 19. Menurut Noval, gagal paham ini karena mahasiswa tidak ingin mengorbankan kepentingan dirinya di tengah situasi pandemi yang menghasilkan berbagai persoalan pelik. Akhirnya, dengan membandingkan definisi gerakan mahasiswa menurut Arbi Sanit (1999) dan sikap “narsis” (katanya) oleh mahasiswa Gorontalo yang menggunakan tagar kekecewaan.
Bagi Noval, mungkin twibbon dan tagar kekecewaan adalah  pertanyaan penting atas ketiadaan moral mahasiswa ketika banyak pihak membutuhkan realokasi anggaran provinsi termasuk dana beasiswa. Namun, penulis dengan hati-hati mengambil sikap yang berbeda dengan Noval. Alih-alih menganggapnya sebagai sikap reaksioner mahasiswa, penulis ingin melihat gerakan ini sebagai bentuk kritik dasar yang sebenarnya sah-sah saja untuk disampaikan. Kritiknya sederhana, di tengah ketidakpastian penurunan UKT, merosotnya kondisi sosio-ekonomi, mahasiswa juga harus membayar tanggungan perkuliahan agar dapat melanjutkan kuliahnya. Karenanya, diperlukan bantuan dana beasiswa. Lantas apakah dengan demikian kami tidak memerhatikan situasi penanganan covid-19 lebih luas? Nyatanya tidak, kami memperlihatkan terdapat anggaran yang tidak begitu urgen seperti perbaikan jalan Jhon Ario Katili sebesar 24 Miliar. Lagi pula, jika pemerintah provinsi mengingkan semua warganya lebih banyak berada di rumah, maka bukankah perbaikan jalan dapat ditunda? Dengan dasar yang demikian, maka anggapan Noval yang menyebutkan bahwa ini merupakan lunturnya gerakan moral tentu saja merupakan penilaian yang terburu-buru.

Yang kedua, Noval harusnya perlu melihat bahwa pembacaan terhadap kondisi sosial tidaklah bersifat “hitam-putih”. Dengan kata lain, mempersoalkan realokasi dana beasiswa bukan berarti memusuhi pemerintah dan tidak memperdulikan proses penanganan corona di Gorontalo. Pandangan Noval yang memosisikan gerakan mahasiswa ber-twibbon sebagai usaha yang tidak pro-rakyat kecil jelas keliru. Dana beasiswa justru dapat menjamin bahwa dalam situasi ekonomi yang sulit di tengah pandemi karena hasil panen yang sulit dipasarkan, tempat pelelangan ikan yang sepi pengunjung, bentor yang harus lebih banyak “dikandangkan”, pemotongan gaji, usaha dengan laba yang tak menentu, PHK, dan ketiadaan pemasukan ekonomi lainnya, anak-anak Gorontalo tetap dipastikan dapat mengenyam pendidikan yang layak. Karena itu, protes terhadap realokasi dana beasiswa berarti juga perjuangan untuk memastikan akses pendidikan dapat terjamin dalam situasi ekonomi yang berat.

 Yang terakhir, dengan menggunakan definisi Arbi Sanit (1999),  Noval harusnya tidak perlu segera terkunkung dalam pra sangka yang berlebihan terhadap gerakan mahasiswa ber-twibbon. Bukan hanya mahasiswa, kita semua setiap warga negara punya tugas mengawasi jalannya pemerintahan apapun kondisinya. Tidak perlu banyak pemaparan kajian teoritik untuk ini selain terlalu banyak dan bisa diperiksan sendiri karena sudah sepatutnya demokrasi memberikan ruang bagi tiap-tiap warga negara baik penulis, Noval Karim, abang bentor, petani, nelayan, buruh, kuli bangunan, pedagang asongan, mahasiswa, guru, dokter, perawat, mahasiswa dan semua yang mendaku diri sebagai warga Gorontalo. Gerakan twibbon hanyalah salah satu bentuk ekspresi berdemokrasi saja. Tidak perlu ada prasangka yang berlebihan jika kritik diluncurkan kepada pemerintah. Penulis juga yakin bahwa pemerintah tidak akan bersikap reaksioner terhadap kritik dari mahasiswa, bahkan alangkah lebih baik jika pemerintah dapat memberikan tanggapan atas kritik terkait realokasi dana beasiswa. Jika pemerintah berhasil menjawab dengan studi yang cermat, maka bukan tidak mungkin dialog yang konstruktif ini dapat menggugah kembali spirit mohuyula dalam setiap ikhtiar untuk berjibaku di tengah pandemi.

Penulis : Wahyu Margono

Artikel Terkait

Terkini