Jumat, 4 February 2011. Aku menemukan artikel yang menurutku menyentuh hati, sampai-sampai aku hampir mengeluarkan air mata. Allahu Akbar.
Well, ini dia artikelnya. Diambil dari eramuslim.
Betapa Allah Sayang pada Diriku
Sebelum ibuku dinyatakan positif hamil mengandung diriku, ibuku telah mengalami keguguran berulang kali. Dari enam kehamilan sebelum diriku, berhasil lahir dua abangku. Sedangkan empat kehamilan sisanya mengalami keguguran. Bidan yang merawat ibuku sempat menganjurkan, bila ibu masih menginginkan anak lagi, agar ibu memeriksakan kandungannya ke laboratorium. Bidan khawatir ibuku terserang virus TORCH (sejenis taxoplasma) yang mana akan mengancam kehamilan berikutnya yang otomatis menyulitkan ibuku untuk mendapatkan anak lagi.
Kecurigaan bidan itu wajar saja. Namun ibuku merasa bukan virus itu yang menjadikan kehamilannya sering berakhir dengan keguguran. Ibuku hanya merasa capek dengan segala aktivitas yang dijalani. Atau ibuku hanya pernah merasa mengalami goncangan yang tidak diinginkan sehingga embrio yang masih labil dalam rahim ibuku, mengalami peluruhan sebelum bertahan dengan sempurna.
Oleh karenanya, meski bidan menyarankan ibuku ke laboratorium, ibu masih menunda-nunda. Banyak kesibukan yang harus dijalani dan ibuku merasa belum menemukan waktu yang tepat. Hingga datang suatu hari dimana ibu terlambat datang bulannya, kemudian ia memeriksakan diri dan dinyatakan positif hamil mengandung diriku.
Bidan Djoko berkata, “Alhamdulillah Mba positif. Tapi tolong dijaga ya!. Ini saya kasih vitamin untuk menguatkan kandungan. Pokoknya hindari capek dulu dech! Jangan dulu naik motor ke mana-mana. Kalau ini bertahan, berarti memang mba kecapean dan butuh istirahat, bukan karena virus…”
Subhanallah. Allah Mahaluas kasih sayang-Nya. Itulah barangkali hikmahnya kenapa sebelum datang kehamilan diriku mereka (orangtuaku) terkondisi untuk membeli mobil walau secara kredit. Sebenarnya gaji ayahku di kantor saat itu tidaklah seberapa. Namun Alhamdulillah mereka memiliki bisnis kecil yang cukup bisa diandalkan. Sehingga ketika petugas survey datang ke rumah, tanpa butuh waktu panjang langsung memberikan persetujuan bahwa kami layak mendapatkan kemudahan kredit mobil untuk menunjang usaha.
Ketika Bidan Djoko mewanti-wanti ibuku untuk tidak mengendarai atau membonceng sepeda motor, ibuku bisa menjawab dengan tenang, “Insya Allah Bu Bidan. Mudah-mudahan kandungan ini bisa bertahan hingga lahir. Alhamdulillah saya sekarang untuk bepergian tidak pakai motor lagi.”
Bidan menjawab, “Syukurlah kalau begitu. Pokoknya tiga bulan ini harus dijaga betul dulu ya mba!. Insya Allah yang ini berhasil. Bukankah mba sudah ingin punya anak lagi kan?” Begitulah bidan yang baik hati itu merespon dan menguatkan harapan ibuku. Aku pun merasa optimis. Dengan dukungan orang-orang yang menyayangi diriku, Insya Allah aku akan lahir ke dunia dengan selamat.
Hari demi hari, pekan demi pekan, dan bulan demi bulan, diriku tumbuh kembang di rahim ibuku dengan bagus dan normal. Dari hasil USG, aku diperkirakan menjadi seorang bayi laki-laki. Sebenarnya alat kelaminku agak susah dideteksi karena posisi kakiku yang menutupinya. Hanya saja Bu Bidan pernah melihat tonjolan yang diduga adalah alat kelamin laki-laki. Meski ayah ibuku lebih menginginkan bayi perempuan, apapun jenis kelaminnya harus disyukuri. Bagi mereka yang penting diriku sehat, normal (tidak catat), dan lahir dengan selamat.
Alhamdulillah, berbagai kemudahan mendukung pertumbuhanku di dalam kandungan. Dunia seakan gembira dan tersenyum menyambut kedatanganku, mengikuti dua abangku yang sudah terlebih dahulu lahir. Ibuku mengalami kehamilan yang sehat. Dan rezeki Allah senantiasa mengalir. Dari jalan yang terduga maupun yang tidak terduga.
Kemana aku pergi, aku diantar naik mobil sehingga Ibuku bisa istirahat bilamana capek di perjalanan dan aku pun bisa tenang di dalam kandungan. Bila malam ibuku terserang asma, capek-capek, atau susah tidur, ayahku memberikan pijatan refleksi yang mampu mengobati itu semua. Alhamdulillah, ayahku begitu sayang kepada ibuku dan tentu juga kepada diriku.
Perjalanan hidup di alam kandungan yang nyaman menjadikanku tidak merasa kalau aku sudah lama berada di sana. Tanggal 28 Oktober, usiaku di kandungan menginjak 38 pekan. Ibuku sudah sering mules-mules namun belum ada pembukaan bagi jalan lahirku. Sesuai perkiraan, aku akan dilahirkan 2 pekan lagi. Jadi hari ini belum saatnya aku dilahirkan. Namun ada satu hal yang mengharuskan ibu datang ke bidan dan boleh jadi aku harus dilahirkan pada hari yang bersejarah ini. Ketuban yang melingkupiku sudah mulai pecah!
Ayahku segera mengantarkan kami ke Bidan. Setelah diperiksa, bidan memutuskan untuk membantu persalinan hari itu juga dengan merangsang (menstimulus) pembukaan jalan lahirku. Ibuku tidak boleh mengalami sesak nafas karena penyakit asmanya. Oleh karenanya bidan juga memberikan cairan infus yang berisi pencegah sesak nafas. Bidan menunggu reaksi ibu satu jam ke depan, bila kondisinya bagus maka bidan akan memberikan perangsang dengan dosis lebih besar untuk “memaksa” terbukanya jalan lahirku. Namun belum satu jam berlangsung, nafas ibuku sudah ngos-ngosan. Bidan khawatir jika mengusahakan persalinan yang normal, maka perjalanan diriku menuju kelahiranku akan memakan waktu lama. Hal itu beresiko bagi ibuku karena akan kehabisan energi di tengah jalan dan juga beresiko bagi keselamatan diriku. Akhirnya, bidan memberi saran agar ibuku dioperasi caesar.
Dengan mobil ambulan, kami menuju rumah sakit yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah bidan. Sesampai di sana, ayahku sibuk mengurus berkas-berkas administrasi. Sementara ibuku dimasukkan ke ruang persiapan operasi. Dokter yang dikonfirmasi siap menangani persalinan pukul 13.30 siang.
Singkat cerita, sesuai skedul pukul 13.30 ibuku pun mulai dioperasi. Pukul 14.00 seorang bidan rumah sakit keluar ruangan memangil keluarga ibuku. “Keluarga Ibu Aisyah!” begitulah panggilan dari bidan perawat yang mengagetkan ayahku yang duduk menunggu di beranda rumah sakit.
Bidan memberi tahu bahwa diriku telah lahir dan menyuruhnya masuk melihat diriku. Wajah ayahku begitu bahagia. Lebih terkejut ketika bidan berteriak “Bayinya perempuan, Pak!”. Ayah melihati diriku yang masih berlumuran dengan air ketuban, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ayahku meminta izin untuk mengazankan dan mengiqomatkan diriku. Maka melantunlah kata-kata suci yang membuatku sejenak berhenti dari tangisanku. Sebelum aku diambil untuk dibersihkan, secara reflek ayahku memfoto diriku karena khawatiran diriku tertukar dengan bayi yang lain. Apa yang yang dilakukan ayahku adalah bagian dari kontrol untuk memastikan bahwa aku adalah buah hatinya. Itu adalah setitik tanda bahwa ayah begitu mencintai diriku.
Tiga hari aku berada di rumah sakit. Hari ke empat aku pulang ke rumah ibu yang sekaligus menjadi rumah baruku di dunia. Hari ketujuh aku diaqiqahkan, diberi nama dan rambutku dipotong. Rambutku ditimbang dan uang senilai emas dengat berat rambutku diinfaqkan. Tetangga, kerabat, dan ibu-ibu pengajian datang memberi doa untukku: u’iidzuki bi kalimaatil laahit taammati min kulli syaithaanin wa haammatin wa min kulli ‘ainin laammah (HR Bukhari). Malam harinya, beberapa bapak juga turut hadir menyantap hidangan aqiqah dan memberi doa untukku.
Aku merasa dimuliakan. Aku begitu disambut gembira oleh semua orang. Termasuk oleh dua abangku yang memang mengharap datangnya adik perempuan. Kado dari hadirin cukup melimpah, sehingga sebagiannya dihadiahkan kepada saudara dan kerabat yang membutuhkan. Bagiku adalah secukupnya saja. Kecuali kain popok dan bedong yang memang harus dibanyakin menjelang musim hujan ini.
Di hadapan bapak-bapak, ayahku menyitir sebuah hadits Nabi Saw: “Barangsiapa yang memiliki tiga anak perempuan, kemudian ia mendidiknya dengan baik dan menikahkan dengan laki-laki yang baik, maka baginya surga”. Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika dua ya Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab, “Dua juga demikian.” Kemudian sahabat bertanya lagi, “Bagaimana jika satu saja?” Rasulullah Saw menjawab, “Satu demikian juga!” Intinya adalah bahwa memiliki anak perempuan adalah kemuliaan dan sarana untuk mencapai kemuliaan yang lebih besar. Dengan menganugerahi anak perempuan berarti Allah SWT memuliakan dan mempercayakan pemeliharaan sang anak. Dan bila orang tua memegang teguh kepercayaan Allah SWT itu, maka Allah SWT akan membalas dengan kemuliaan hakiki berupa kedudukan di surga.
Mataku berkaca-kaca. Aku merasa sangat terharu. Begitu Islam sangat memuliakan anak perempuan seperti diriku. Beda dengan masyarakat Jahiliyah dulu. Mereka menganggap kami sebagai kehinaan dan musibah. Bahkan tidak sedikit bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup. Alangkah bersyukurnya, aku dilahirkan dalam keagungan cahaya Islam. Aku merasa bahwa Allah begitu sangat menyayangiku.
Semoga Allah yang Mahaluas kasih sayang-Nya, tidak hanya melimpahkan nikmat-Nya di dunia melainkan berlanjut hingga akhirat kelak. Barangkali itulah hikmah aku diberi nama asma al husna yakni “Abdurrahim” di belakang namaku. Abangku semua juga menggunakan nama asma al husna. Hanya saja nama itu di tempatkan di depan bukan di belakang. Masih sedikit orang tua memberi nama asma al husna kepada anak perempuan. Mereka khawatir orang akan menganggap sebagai bayi laki-laki. Atau orang akan mengira bahwa nama itu adalah nama ayahnya kecuali jika ditulis lengkap dengan nama nasabnya. Di negeriku, menulis nama lengkap dengan nasabnya belum dibudayakan seperti halnya di negeri tetangga Malaysia atau negeri muslim lainnya. Sayang, padahal itu adalah bagian dari budaya Islam yang semestinya dipraktekkan sebagaimana dipraktekkan oleh para sahabat.
Seperti halnya abang-abangku, namaku diambil dari Al Quran dan berbau surgawi. Namaku “Tasnim” yaitu nama salah satu mata air di surga. Boleh jadi ayahku ingin aku menjadi penyejuk mata dan sumber kebahagiaan laksana Tasnim di surga.
Nama tengahku adalah “Amani” yang berarti keamananku atau ketenanganku. Mungkin ayahku berharap aku bisa menjadi ketenangan bagi mereka dan bagi diriku sendiri. Ketenangan yang bersumber dari iman yang kumiliki sehingga diriku selalu terjaga dari keburukan atau langkah syaitan dan aku terbimbing menjadi wanita sholehah, sebaik-sebaik perhiasan di dunia.
Perjalanan singkat menjelang dan setelah aku dilahirkan ini membawa hikmah yang sangat besar bagiku. Allah SWT yang Mahaluas ilmu-Nya, paling mengetahui siapa diriku dan bagaimana aku menjadi nantinya. Apa yang berlangsung hingga kini cukup menjadi bukti bahwa Allah Mahaluas kasih sayang-Nya (Ar Rahman). Oleh karenanya, tidak ada alasan bagiku untuk optimis menjalani hidup ini. Hidup yang penuh dengan ujian dan tipu daya.
Namun di balik syukurku ini, masih terpendam suatu keprihatinan di dalam hati. Banyak bayi-bayi seperti diriku yang mengalami kelaparan dan kematian. Dan betapa banyak orang tua yang lalai dari pemeliharaan anak perempuan sehingga perzinahan dan kerusakan moral ada dimana-mana.
Keberkahan atas diriku dan orang tua yang melahirkan diriku. Semoga Allah senantiasa membimbing langkah hidupku di tengah fitnah kehidupan yang makin bergejolak. Amin.
(Tasnim Amani Abdurrahim)